Unsur-unsur Intrinsik Cerpen Menurut Para Ahli

Berikut ini adalah unsur-unsur/struktur pembangun Cerpen.

1) Penokohan

Istilah penokohan mencakup makna yang luas, yaitu tokoh, perwatakan tokoh, dan penampilan tokoh (Nurgiantoro, 2006:166). Tokoh adalah orang yang berperan dalam cerita; perwatakan adalah sifat-sifat yang dimiliki tokoh; penampilan tokoh berkaitan dengan penempatan dan pelukisannya dalam cerita. Stanton (2007:33) menggunakan istilah karakter. Istilah ini merujuk pada dua pengertian atau dipakai dalam dua konteks, yaitu individu-individu yang muncul dalam cerita dan percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut.

Tokoh-tokoh dalam karya fiksi dapat dibagi menjadi tokoh sentral, tokoh utama, dan tokoh pembantu (Waluyo, 2006:16-17). Pembagian tokoh ini didasarkan pada peranannya dalam cerita. Tokoh sentral adalah tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak lakon. Waluyo menyamakan tokoh  sentral ini dengan tokoh antagonis dan protagonis. Tokoh utama adalah tokoh yang mendukung atau menentang tokoh sentral. Dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral. Tokoh utama disamakan dengan tokoh tritagonis. Tokoh pembantu adalah tokoh-tokoh yang memegang perenan pelengkap atau tambahan dalam mata rantai cerita. Kehadiran tokoh pembantu disesuaikan dengan kebutuhan cerita (Waluyo, ibid).

Metode penokohan adalah cara penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh dalam karya sastra. Secara umum, terdapat dua jenis penokohan, yaitu (1) metode analitis atau metode langsung atau metode diskursif; dan (2) metode  dramatik atau metode tidak langsung atau metode ragaan. Metode analitis/langsung/diskursif adalah cara penyajian watak tokoh dengan memaparkan watak tokoh secara langsung. Artinya, sifat-sifat tokoh disebutkan oleh pengarang secara langsung. Adapaun metode dramatik/ taklangsung/ ragaan, adalah cara penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang; bahkan, dapat pula dari segi penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tinggal tokoh.
Menurut Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu: (1) melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis; (2) melalui ucapana-ucapannya, dalam hal ini dari ucapan-ucapan tokoh dapat diketahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus; (3) melalui penggambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan langsung.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perwatakan tokoh dalam karya sastra dapat dilihat melalui (1) tuturan langsung pengarang, (2) pemikiran atau ucapan-ucapan tokoh, (3) tindakan atau perbuatan tokoh, (4) percakapan antartokoh, gambaran fisik tokoh, (5) lingkungan hidup tokoh, dan (6) tanggapan tokoh lain. Keenam metode penokohan ini akan digunakan untuk menganalisis perwatakan tokoh dalam cerpen Surau yang Hilang.

2)  Pengaluran

Nurgiantoro (2007:110) menyatakan bahwa alur merupakan unsur fiksi yang penting. Menurutnya, tinjauan secara struktural terhadap karya fiksi sering lebih ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Ia mencontohkan dengan kajian sintagmatik dan paradigmatik, serta kajian menurut kaum Formalis Rusia yang mempertentangkan (dan mencari kesejajaran) antara fabula dan sujet.

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Namun demikian, tidak semua peristiwa dapat disebut alur. Dalam hal ini, alur terbatas pada rangkaian peristiwa yang terjalin secara sebab akibat. Seperti dikemukakan Stanton (2007: 26), peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.

Sebagairangkaian suatu peristiwa, alur memiliki tahapan-tahapan yang disebut dengan tahapan alur. Dalam kaitannya dengan ini, Aristoteles (via Abrams, 1970:129) menyatakan bahwa tahapan plot terdiri atas tiga, yaitu awal (beginning), tengah (middle), dan akhir (end). Pada tahap awal atau yang disebut tahap perkenalan, diinformasikan hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang akan dikisahkan selajutnya. Pada tahap tengah atau yang sering disebut tahap pertikaian, ditampilkan pertentangan atau konflik yang dialami tokoh yang sudah mulai dimunculkan pada tahap awal. Selanjutnya, pada tahap akhir, atau tahap peleraian, ditampilkan adegan tertentu sebagai dari klimaks.

Selain tahapan alur yang diuraikan itu, ada juga tahapan alur yang dikemukakan oleh ahli lain, seperti Tasrif (via Lubis, 1997:109; Nurgiantoro 2007:149-150). Tahapan alur tersebut  adalah sebagai berikut.

Pertama, tahap penyituasian (situation). Pada tahap ini keadaan tokoh dan latar sudah mulai diperkenalkan. Tahap ini adalah tahap pembukaan cerita, pemberin informasi awal dan lain-lain, yang terutama berfungsi sebagai landas tumpu  bagi cerita selanjutnya.

Kedua, tahap pemunculan konflik (generating circumstances). Tahap ini adalah tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua ini termasuk pada tahap awal sesuai dengan pembagian Aristoteles.

Ketiga, tahap peningkatan konflik. Pada tahap ini konflik-konflik yang ada mulai meningkat dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi baik eksternal maupun internal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.

Keempat, tahap klimaks. Pada tahap ini konflik-konflik yang dialami tokoh terutama tokoh utama sudah mencapai titik puncak. Bagian ini dapat berupa bertemunya dua tokoh yang sebelumnya saling mencari, atau terjadinya pertikaian antara dua tokoh yang saling bermusuhan.
Kelima, tahap penyelesaian. Pada tahap ini, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Demikian juga dengan konflik-konflik yang lain.

Secara umum, pola alur cerita teridiri atas tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir.  Bagian awal cerita mencakup (1) paparan (exposition) (2) rangsangan (inciting moment) dan (3) gawatan (rising action). Selanjutnya, bagian tengah mencakup (1) tikaian (conflict), (2) rumitan (complication) dan (3) klimaks. Adapun bagian akhir mencakup (1) leraian (falling action) dan (2) selesaian (denouement). Dengan demikian, secara keseluruhan struktur alur terdiri atas delapan tahapan.

Umumnya alur cerita fiksi dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu (1) alur maju, (2) alur mundur, dan alur campuran. Pembagian ini didasarkan pada urutan waktu kejadian. Suatu cerita dikatakan beralur maju apabila cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya. Alur seperti ini dikatakan alur kronologis atau disusun secara abovo. Sebaliknya, suatu cerita dikatakan beralur mundur apabila cerita diawali dengan peristiwa akhir menuju ke peristiwa awal. Selanjutnya, suatu cerita dikatakan beralur campuran apabila rangkaian peristiwanya disusun secara acak atau tidak sesuai dengan tahapan-tahapan alur. Misalnya, pada awal cerita disajikan konflik kemudian kembali ke tahap perkenalan tokoh, dan selanjutnya dilanjutkan dengan klimaks.

Selain pembagian di atas, ada juga jenis alur lainnya, yaitu alur kausal dan alur tematik. Suatu cerita dikatakan beralur kausal apabila cerita disusun berdasarkan hubungan sebab akibat. Dalam hal ini, peristiwa yang satu menyebakan munculnya peristiwa yang lain dan peritiwa yang lain itu menjadi akibat bagi peristiwa lainnya. Misalnya peristiwa bunuh diri. Tokoh melakukan aksi bunuh diri karena dihianati pacarnya. Akibat yang mucul dari peristiwa bunuh diri adalah orang tua tokoh bersedih hati dan akhirnya meninggal dunia.

Selanjutnya, suatu cerita dikatakan beralur tematik apabila cerita itu terdiri atas beberapa bagian dan setiap bagian tidak saling berkaitan. Artinya, bagian yang satu tidak ada kaitannya dengan bagian yang lain. Dengan kalimat lain, apabila ada bagian cerita yang dihilangkan, penghilangan itu tidak memengaruhi bagian cerita lainnya. Alur seperti ini dapat ditemukan pada novel yang disusun dalam beberapa bab.

3) Pelataran

Latar atau setting adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinertaksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton, 2007:35). Menurut Abrams (1981:157), setting sebuah cerita adalah tempat dan waktu terjadinya peristiwa secara umum yang berhubungan dengan peristiwa yang diceritakan. Latar memberikan pijakan cerita secara nyata dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu sehingga seolah-olah peristiwa yang diceritakan benar-benar terjadi (Nurgiantoro, 2007:217).

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.

Sayuti (2000:128) menyatakan bahwa paling tidak terdapat empat elemen unsur yang membentuk latar fiksi. Keempat latar itu adalah (1) latar geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya topografi, pemandangan tertentu, bahkan detail-detail interior sebuah ruangan; (2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh; (3) waktu terjadinya peristiwa, termasuk periode sejarah, musim, tahun; dan (4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.

Seperti halnya unsur intrinsik lain, unsur latar dalam karya sastra terdiri atas tiga jenis, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat mengacu pada  nama-nama tempat seperti di kota, di desa, di Gorontalo, di kamar, di sekolah, di pasar, dan lain sebagainya. Sementara itu, latar waktu mengacu pada jam, hari, bulan, tahun, bahkan rentang waktu yang panjang seperti zaman orde lama, orde baru, zaman purbakala, zaman modern, dan lain sebagainya. Kemudian latar sosial mengacu pada gambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.

Latar dalam karya sastra memiliki beberapa fungsi. Fungsi yang pertama adalah memberikan informasi mengenai situasi sebagaimana adanya; kedua,  (2) memproyeksikan keadaan batin tokoh, ketiga, menciptakan suasana tertentu, dan  keempat menciptakan kontras. 4)Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang memandang siapa yang bercerita di dalam cerita itu atau sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita (Jabrohim, dkk. 2003:116). Sudut pandang juga diartikan sebagai suatu metode narasi yang menentukan posisi atau sudut pandang dari mana cerita disampaikan (Pickering dan Hoeper dalam Minderop, 2005:87).
Secara umum sudut pandang dalam karya sastra dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) sudut pandang orang pertama dan (2) susut pandang orang ketiga. Keduanya masih dibagi lagi ke dalam beberapa bagian. Sudut padang orang pertama meliputi (1) orang pertama pelaku utama atau akuan sertaan dan (2) orang pertama pelaku sampingan atau akuan taksertaan; sedangkan sudut pandang orang ketiga meliputi (1) orang ketiga serbatahu atau diaan mahatahu dan (2) orang ketiga terbatas atau diaan terbatas.
Sudut pandang orang pertama pelaku utama atau akuan sertaan artinya pencerita (tokoh utama) menyebut dirinya ”aku” dan mengisahkan peristiwa yang dialminya. Sebaliknya, orang pertama pelaku sampingan atau akuan taksertaan artinya pencerita (tokoh bawahan) menyebut dirinya ”aku” dan mengisahkan peristiwa yang dialami oleh tokoh utama.

Hal tersebut berbeda dengan sudut pandang orang ketiga sebatahu dan orang ketiga terbatas. Sudut pandang atau pencerita diaan serbatahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita sampai pada hal-hal yang tidak tampak oleh indra penglihatan. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita. Selanjutnya, pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.

Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.

Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu (1) tokoh utama menyampaikan kisah dirinya; (2) tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama; (3) pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama; dan (4) pengarang serba tahu.

4) Tema 

Umumnya tema dipahami sebagai ide utama cerita. Hartoko dan Rahmanto (1986:142) mendefinisikan tema sebagai gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Menurut Stanton (2007:36) tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.

Tema dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian. Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan ada pula tema samapingan. Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral. Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh, latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif. Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat.

5) Amanat

Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat sering disebut pesan, yaitu pesan pengarang kepada pembaca. Pesan itu ada yang disampaikan secara tersirat, ada pula yang tersurat. Biasanya pesan itu dapat ditelusuri melalui percakapan para tokoh. Waluyo (2006:29) menyatakan jika tema berkaitan dengan arti, maka amanat berkaitan dengan makna. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum.

Amanat dapat disampaikan secara implisit dan eksplisit. Amanat yang disampaikan dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.

Silahkan berkomentar sesuai topik di atas. Berkomentarlah yang sopan,tidak melakukan promosi, juga tidak menyisipkan link.
EmoticonEmoticon