Relasi Makna: Sinonimi, Antonimi, Hiponimi, Homonimi, Polisemi, Ambiguiti dan Redundansi

Antar makna dua tanda bahasa atau lebih dapat berelasi. Dalam kajian semantik, relasi makna-makna itu dipilah-pilah atas sejumlah kategori. Setiap kategori itu dijelaskan pada uraian berikut:

1) Sinonimi

Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidak samaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain:

  1. Faktor waktu. Umpamanya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, kata hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan kata komandan tidak memiliki pengertian klasik. Dengan kata lain, kata hulubalang hanya cocok digunakan pada konteks yang bersifat klasik, padahal kata komandan tidak cocok untuk konteks klasik itu.
  2. Faktor tempat atau wilayah. Misalnya, kata saya dan beta adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan kata beta hanya cocok untuk wilayah Indonesia bagian timur, atau dalam konteks masyarakat yang berasal dari Indonesia bagian timur.
  3. Faktor keformalan. Misalnya, kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata uang dapat digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan kata duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
  4. Faktor sosial. Umpamanya, kata saya dan aku adalah dua buah kata yang bersinonim. Tetapi kata saya dapat digunakan oleh siapa saja dan kepada siapa saja. Sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya.
  5. Bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau dapat digunakan secara umum; sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus. Terutama ragam sastra.
  6. Faktor nuansa makna. Umpamanya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninijau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Tetapi antara yang satu dengan yang lainnya tudak selalu dapat dipertukarkan, karena masing-masing memiliki nuansa makna yang tidak sama. Kata melihat memiliki makna umum; kata melirik memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton memiliki makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip memiliki makna melihat dari atau melalui celah sempit. Dengan demikian, jelas kata menonton tidak dapat diganti dengan kata melirik karena memiliki nuansa makna yang berbeda, meskipun kedua kata itu dianggap bersinonim. Dari keenam faktor yang dibicarakan diatas, bisa disimpulkan,bahwa dua kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau disubstitusikan.


2) Antonimi

Istilah antonimi (Inggris: antonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma = nama, dan anti = melawan). Makna harafiahnya, nama lain untuk benda yang lain. Verhaar (1983:133) mengatakan: “Antonim adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat juga frasa atau kalimat) yang dianggap kebalikan dari ungkapan lain”. Secara mudah dapat dikatakan, antonim adalah kata-kata yang maknanya berlawanan. Istilah antonim kadang-kadang dipertentangkan dengan istilah sinonim, tetapi status kedua istilah ini berbeda. Antonim biasanya teratur dan terdapat identifikasi secara tepat. Contoh kata-kata yang antonim. besar x kecil lebar x sempit panjang x pendek.

3) Hiponimi

Istilah hiponimi (Inggris: hyponymy berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma = nama, dan hypo = di bawah). Secara harafiah istilah hiponimi adalah nama yang termasuk di bawah nama lain. Verhaar (1983:131) mengatakan: “Hiponim ialah ungkapan (kata biasanya atau kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.”

Istilah hiponim dalam bahasa Indonesia boleh digunakan sebagai nominal, boleh juga ajektiva. Kita mengetahui bahwa aster, bogenfil, ros, tulip semuanya disebut bunga. Kata-kata ini dapat diganti dengan kata umum, bunga. Hubungan seperti ini oleh Lyons (I, 1977:291) disebutnya hyponymy (lihat juga Palmer 1976:76). Kata bunga yang berada pada tingkat atas dalam system hierarkinya disebut superordinat dan anggota-anggota berupa aster, bogenfil yang berada pada tingkat bawah, disebut hiponim. Berbeda dengan antonim, homonim, dan sinonim, maka hiponim mempunyai hubungan yang berlaku satu arah.

Kata merah merupakan hiponim warna; kata warna tidak berada di bawah merah melainkan di atas kata merah. warna merah merah warna Dengan demikian kata warna memiliki hiponim segala macam warna yang kita kenal, misalnya merah, jingga, hijau. Kata warna merupakan superordinat dari kata merah, jingga, hijau atau kata warna hipernimi (Inggris: hypernymy) kata merah.

4) Homonimi

Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama, maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang bermakna ‘kekasih’. Antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, dan juga antara kata mengurus yang berarti ‘mengatur’ dan kata mengurus yang berarti ‘menjadi kurus’.

Sama dengan sinonimi dan antonimi, relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Jadi kalau pacar I yang bermakna ‘inai’ berhomonim dengan kata pacar II yang bermakna ‘kekasih’ maka pacar II juga berhomonim dengan pacar I. Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda. Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Contoh homografi yang ada dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kita hanya menemukan kata teras/tÉ™ras/yang maknanya ‘inti’ dan kata teras/teras/yang maknanya ‘bagian serambi rumah’.

5) Polisemi

Polisemi Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi jika kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala yang setidaknya mempunyai makna yaitu:

  1. Bagian tubuh manusia
  2. Ketua atau pemimpin
  3. Sesuatu yang berada disebelah atas
  4. Sesuatu yang berbentuk bulat.


Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu.

6) Ambiguiti

Ambiguiti adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasekmental tidak dapat digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi:

  1.  Buku sejarah itu baru terbit
  2.  Buku itu memuat sejarah zaman baru

Kemungkinan makna 1 dan 2 itu terjadi karena kata baru yang ada dalam kontruksi itu, dapat dianggap menerangkan frase buku sejarah, dapat juga dianggap hanya menerangkan kata sejarah.

7) Redundansi

Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya kalimat bola itu ditendang oleh Novi tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Novi. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundansi.

Silahkan berkomentar sesuai topik di atas. Berkomentarlah yang sopan,tidak melakukan promosi, juga tidak menyisipkan link.
EmoticonEmoticon